OBSERVASI KELAS PMRI DI SD NEGERI 98 PALEMBANG*)

1.         Pendahuluan

                   Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994 dalam Hadi), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange 1995, dalam Hadi). 

                                    Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss 1989, dalam Hadi). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMRI, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer 1997, dalam Hadi). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.

                                    Pada saat ini, PMRI  telah mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru dan siswa, orangtua, mahasiswa, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah pada umumnya, dan tidak terkecuali bagi mahasiswa program studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Unsri khususnya. Beberapa sekolah dasar di kota Palembang dan kota-kota besar lainnya, seperti: Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMRI dalam skala terbatas. Menurut Sutarto Hadi (2003), bahwa sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Sehubungan dengan itu sangatlah tepat apabila sebagai mahasiswa S2 pendidikan Matematika selain memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang PMRI di ruang kuliah, kami perlu pemahaman yang cukup luas tentang pembelajaran PMRI dengan melakukan observasi langsung pada kelas-kelas PMRI di bawah asuhan langsung oleh Yth. Bapak Prof. Dr. Zulkardi, M.I.Kom., M.Sc yang merupakan salah satu pakar pendidikan PMRI di Indonesia. Adapun kelas/sekolah yang menjadi tempat observasi ini, yaitu SD Negeri 98 Palembang (salah satu sekolah ujicoba PMRI). Selanjutnya dalam makalah atau laporan ini intinya akan menguraikan mengenai hasil observasi terhadap proses pembelajaran pada kelas PMRI – SD Negeri 98 Palembang.

 

2.         Permasalahan

                                    Adapun yang menjadi permasalahan atau apa yang akan dijawab dalam obsevasi ini adalah sebagai berikut:

1)       Apakah guru kelas yang mengajar matematika di kelas pada SD Negeri 98 Palembang sudah memiliki pengetahuan tentang pembelajaran PMRI?

2)       Apakah proses pembelajaran matematika yang dilakukan guru sudah mencerminkan pembelajaran PMRI?

3)       Apakah proses pembelajaran matematika yang dilakukan membantu siswa memahami konsep yang diajarkan?

 

3.         Tujuan

                                    Adapun yang menjadi tujuan dalam observasi ini adalah sebagai berikut:

1)       Mengetahui kesiapan guru kelas pada SD negeri 98 Palembang dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMRI.

2)       Mengetahui kesesuaian proses pembelajaran matematika yang dilakukan dengan karakteristik PMRI.

3)       Mengetahui tingkat pemahaman konsep oleh siswa dari proses pembelajaran yang telah dilakukan.

 

4.         Tinjauan Pustaka

                                    Dalam laporan ini, penulis mencoba mengetengahkan beberapa teoristik dalam penerapannya dalam pembelajaran matematika, baik itu teori yang berasal dari Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dari negara asalnya ataupun penerapan dan perkembagannya di Indonesia.

 

A.         Pradigma Baru Pendidikan

                                    Menurut Zamroni (2000) dalam Hadi (2003) paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1)      Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);

2)      Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;

3)      Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan

4)      Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

                                    Sehubungan dengan pendapat tentang pradigma pendidikan baru tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus senantiasa diaktifkan dalam menggali pengetahuannya, pendidikan saat ini harus mengikuti perkembangan zamannya, dalam pendidikan perlunya penyesuaian dengan kemampuan yang dimiliki anak, dan pendidikan hendaknya tidak semata-mata terjadi di kelas saja.

                                    Selanjutnya dalam Sutarto Hadi (2003) bahwa PMRI mempunyai konsep tentang siswa, peran guru, dan proses pengajaran yang membedakan dengan pendekatan belajaran lainnya.

 

Konsep Terhadap Siswa

                                    PMRI memiliki konsep tentang siswa sebagai berikut:

1)       Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;

2)       Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;

3)       Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;

4)       Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;

5)       Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

 

Konsep Terhadap Guru

            PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:

1)       Guru hanya sebagai fasilitator belajar;

2)       Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;

3)       Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan

4)       Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial.

 

Konsep Terhadap Pengajaran

            Pengajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut:

1)       Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;

2)       Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;

3)       Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;

4)       Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

 

B.        Soal-soal Kontekstual dan Macamnya

                        Dalam Zulkardi dan Ratu Ilma dinyatakan bahwa Pembelajaran matematika di sekolah  haruslah bermakna dan berguna bagi anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Soal kontekstual matematika adalah merupakan soal-soal matematika yang menggunakan berbagai konteks sehingga menghadirkan situasi yang pernah dialami secara real bagi anak. Pada soal tersebut,  konteksnya harus sesuai dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Konteks itu sendiri dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari.

Sementara itu dalam PMRI soal-soal yang digunakan adalah soal-soal yang berkonteks sebagai titik awal bagi siswa dalam mengembangkan pengertian matematika dan sekaligus menggunakan konteks tersebut sebagai sumber aplikasi matematika.

Menurut de Lange (1987, dalam Zulkardi) ada empat macam masalah konteks atau situasi, yaitu:

1)   Personal Siswa

      Situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, teman sekelas dan kesenangannya.

2)   Sekolah/ Akademik

      Situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah, di ruang kelas, dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran.

3)   Masyarakat / Publik 

      Situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar dimana siswa tersebut tinggal.

4)   Saintifik / Matematik

      Situasi yang berkaitan dengan fenomena dan substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.

                                    Tujuan penggunaan konteks adalah untuk menopang terlaksananya proses guided reinvention (pembentukan model, konsep, aplikasi, & mempraktekkan skill tertentu). Selain itu, penggunaan konteks dapat memudahkan siswa untuk mengenali masalah sebelum memecahkannya.  Konteks dapat dimunculkan tidak harus pada awal pembelajaran tetapi juga pada tengah proses pembelajaran, dan pada saat asesmen atau penilaian. 

 

C.        Soal-soal kontekstual dan Fungsinya

                                    Dalam PMRI, de Lange (1987, dalam Zulkardi) mengelompokkan soal-soal kontekstual ke dalam tiga bagian, yaitu:

1)   Tidak ada konteks sama sekali

Dalam kelompok ini, kebanyakan soal-soal yang tidak menggunakan konteks sama sekali, langsung dalam bentuk formal matematika. Sebagai contoh: Tentukan akar-akar suatu Persamaan Kuadrat  x2 – 5x + 6 = 0; atau gambarlah grafik fungsi y = sin x.

2)   Konteks Dress-up (kamuflase)

Pada kelompok ini, soal-soal biasa diubah menggunakan bahasa cerita sehingga terasa bahwa soal tersebut memiliki konteks. Sebagai contoh soal sistem persamaan linear dengan dua variabel dimana variabel x dan y -nya diganti dengan nama barang belanjaan buku dan pensil.  Misal : 2x + y = 3  dan x + 3y = 4, berapakah nilai x dan y?. Soal ini diubah atau ‘dibajui‘ menjadi 2 pensil dengan satu buku sama dengan tiga satuan dan satu pensil dengan tiga buku sama dengan 4 satuan. Berapa satuankah harga pensil dan buku? Disini terlihat aplikasi hanya kamuflase tetapi tidak bermakna karena kurang fit dengan harga pensil dan buku sebenarnya di toko buku.

3)   Konteks yang relevan dengan konsep

      Disini, soal-soal betul-betul memiliki konteks yang relevan dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Beberapa contoh ditunjukkan pada bagian akhir makalah ini.

.                                   Selain itu, kesulitan soal kontekstual matematika bagi siswa dibagi ke dalam tiga level, yaitu:

a.   Level I:  MudahReproduksi, definisi, prosedur standar, fakta.

Pada level ini, diperlukan hanya satu konsep matematika. Sebagai contoh adalah:

Gambarkan grafik y = x ; tentukanlah nilai x pada x + 3 = 9 – 3x .  

b.   Level II: SedangKombinasi, Integrasi, Koneksi.

Soal pada level ini membutuhkan paling tidak dua konsep matematika. Type soalnya cenderung merupakan suatu pemecahan masalah atau problem solving. Contoh sederhana, yaitu soal yang menggunakan photo anak-anak SD sedang berbaris secara simetris. Konsep simetris digabung dengan trik pertanyaan yang menggunakan gambar yang sebagian dihilangkan (sebagain barisan laki-laki tidak kelihatan). Yang menarik adalah ada seorang anak yang berada di luar barisan yang tentunya harus dihitung.

c.   Level III: Sulit Matematisasi, reasoning, generalisasi, modeling.

Konsep matematika yang dibutuhkan untuk menjawab soal pada level ini sama dengan pada level 2.  Hanya, pada level ini soal-soalnya mengarah kepada generalisasi dan modeling.  Sebagai contoh, soal pada situasi personal: A dan B teman sebangku. Jarak rumah A ke Sekolah 3 km dan jarak rumah B ke Sekolah 5 km.  Berapakah jarak rumah mereka?

      Persoalan tersebut merupakan soal level ini dimana jawaban akhir dan komplit dari soal tersebut adalah berbentuk tempat kedudukan titik-titik antara dua lingkaran yang berjari-jari 3 dan 5 km yang kalau di sketsa, gambarnya berbentuk kue donat.

                                    Bila dikaitkan dengan ketiga level kesulitan soal matematika tersebut, maka fungsi konteks dalam matematika adalah:

(1)  Pada level ke-tiga: konteks berfungsi sebagai karakteristik dari proses matematisasi;

(2)  Pada level ke-dua: konteks berperan sebagai alat untuk mengorganisasi dan menstruktur dan menyelesaikan suatu masalah  realitas; serta

(3) Pada level pertama: tidak ada konteks atau jika ada maka hanya kamuflase, operasi matematika yang di tambahi konteks.

                                    Secara umum, dalam PMRI, konteks berguna untuk pembentukan konsep: akses dan motivasi terhadap matematika; pembentukan model; menyediakan alat untuk berfikir menggunakan prosedur; notasi;  gambar dan aturan;   realitas sebagai sumber dan domain aplikasi; dan latihan kemampuan spesifik di situasi-situasi tertentu (Van Reeuwijk, 1995 dalam Zulkardi).

 

D.        Karakteristik PMRI

                                    Menurut de Lange (dalam Marpaung), ada tiga prinsip pokok dari RME, yaitu:

a.   Mathematics as a human activity,

b.   Mathematics should be reinvented, dan

c.   Intelectual autonomy of the students.

 

Sedangkan Gravemeijer  meyebutkan tiga prinsip pokok RME, yaitu:

a.   Gvided reinvention and progressive mathematization,

b.   Didactial phenomenology, dan

c.   Form informal to formal mathematics; model plays in bridging the gap between informal knowledge and formal mathematics (Gravemeijer 1994, dalam Marpaung).

 

Sedangkan van den Heuvel-Panhuizen (1996) dalam Marpaung, merumuskan prinsip RME sebagai berikut:

  1. Prinsip aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Si pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika. Si pembelajar bukan insan yang pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru, tetapi aktif secara fisik teristimewa secara mental mengolah dan menganalisis informasi, mengkontruksi pemgetahuan matematika.
  2. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogiyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah yang realistik lebih menarik bagi siswa dan masalah-masalah matematis formal tanpa makna. Jika pembelajaran dimulai dengan masalah yang bermakna bagi mereka, siswa akan tertarik untuk belajar. Secara gradual siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis formal.
  3. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh insight tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal. Model bertindak sebagai jembatan antara yang informal dan yang formal. Model yang semula merupakan model suatu situasi berubah melalui abstraksi dan generalisasi menjadi model untuk semua masalah lain yang ekuivalen.
  4. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik. Konsep matematika adalah relasi-relasi. Secara psikologis hal-hal yang berkaitan akan lebih mudah dipahami dan dipanggil kembali dari ingatan jangka panjang daripada hal-hal yang terpisah tanpa kaitan satu sama lain.
  5. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Kepada siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan hal itu serta menanggapinya. Melalui diskusi, pemahaman siswa tentang suatu masalah atau konsep menjadi lebih mendalam dan siswa terdorong untuk melakukan refleksi yang memungkinkan dia menemukan insight untuk memperbaiki strateginya atau menemukan solusi suatu masalah.
  6. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan ‘terbimbing’ untuk “menemukan kembali (re-invent)” pengetahuan matematika. Guru menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan matematika mereka, bukan mentransfer pengetahuan ke pikiran siswa. Guru perlu mengetahui karakteristik setiap siswanya, agar dia lebih mudah memantu mereka dalam proses pengkonstruksian pengetahuan.

                                    Selanjutnya Marpaung (1995) menyebutkan bahwa dalam karakteristik PMRI perlu adanya unsur-unsur yang mendukung terlaksananya pembelajaran dengan pendekatan PMRI di sekolah-sekolah. Unsur-unsur pendekatan yang dimaksud, yakni pendekatan SANI, yaitu santun, terbuka, dan komunikatif sebagai salah satu karakteristik PMRI.

Berdasarkan hasil penelitian Marpaung (1995), pendekatan SANI ini dapat merubah persepsi siswa tentang matematika dari hal yang menakutkan menjadi tidak menakutkan. Jika siswa dapat didorong (dimotivasi) untuk berani mengajukan pendapat, menyampaikan gagasan atau ide dan dihargai pendapatnya (termasuk walaupun yang dikatakan salah) dan dikembangkan rasa percaya dirinya, maka peluang mereka mau mempelajari matematika akan meningkat.

                                    Marpaung (1995) merumuskan karakteristik PMRI sebagai berikut:

1)       Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia);

2)       Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/ realistik;

3)       Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri;

4)       Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenagkan;

5)       Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar);

6)       Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pegi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data);

7)       Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru;

8)       Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model);

9)       Guru bertindak sebagai fasilitator (Tut Wuri Handayani);

10)   Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (SANI dan menghargai pendapat siswa).

                   Selanjutnya teori-teori prinsip dan karakteristik PMR/PMRI tersebut akan kami gunakan dalam mengevaluasi observasi proses pembelajaran yang telah dilakukan.

 

5.         Proses Pembelajaran

 

                                    Dalam laporan observasi ini, proses pembelajaran kegiatan pembelajaran yang akan dianalisis atau dievaluasi, yaitu:

            Kelas I (Satu)

Materi                                                          :           Pengelompokan Bilangan

Konsep                                                       :           Sifat Assosiatif Penjumlahan

Alat Peraga/Bantu  :           Pipet

Metode Belajar                   :           Perorangan/Kelompok

Waktu                                                         :           1 jam pelajaran (35’)

           

 

 

I.          PENGELOMPOKAN BILANGAN

 

Kegiatan Pembelajaran

1)   Guru menuliskan soal pengelompokan bilangan operasi penjumlahan 3 + 7 + 5 (di papan tulis)

      a.   (3 + 7) + 5       =          …      +    …      b.   3 + (7 + 5)       =          …      +    …  
 

Guru menuliskan soal

 

2)   Guru menyuruh anak mengeluarkan pipet (dilakukan untuk persoalan a)

   

Siswa mulai mengeluarkan pipet dan

Menghitung sebanyak bilangan

\

  • Mengambil/mengeluarkan sebanyak 3 buah, lalu diletakkan di sebelah kiri atas meja;
  • Selanjutnya guru menyuruh anak mengambil pipet sebanyak 7 buah dan juga diletakkan di atas meja sebelah pipet yang tadi;
  • Menggambil sebanyak 5 buah, juga diletakkan di atas meja secara terpisah.

 

 

3)   Selanjutnya menuju ke konsep pengelompokkan

  • Siswa disuruh mengambil pipet yang berjumlah 3 dan 7 buah tadi, lalu dicampur (dikelompokkan) dan dihitung;
  • Hasil hitungan siswa ditulis oleh guru pada titik-titik pertama, dan dilanjutkan menuliskan 5 pada titik-titik kedua;
  • Selanjutnya siswa disuruh menghitung semua pipet yang ada, sehingga diperoleh:

(3  +  7)  +  5  =  10        +  5  =  15

 

4)   Guru mengarahkan persoalan pengelompokan kedua (soal b)

      Kegiatan dilakukan sama seperti pada kegiatan soal pengelompokan pertama, sehingga diperoleh:

      3  +  (7  +  5)  =  3  +  12  =  15

      Catatan: Sampai dengan tahap ini belum ada penjelasan kesimpulan 

 

5)   Selanjutnya guru menuliskan/memberikan soal baru di papan tulis, yaitu:

      5  +  8  +  4  =  …

      a.   (5  +  8)  +  4  =  …  +  …  =  …

      b.   5  +  (8  +  4)  =  …  +  …  =  …

 

  • Siswa disuruh menghitung penjumlahan bilangan tersebut dengan menggunakan pipet, sehingga diperoleh:

            5  +  8  +  4  =  17

  • Dengan cara yang sama seperti pada contoh pertama, tetap dengan bimbingan guru siswa disuruh untuk menghitung soal a dan b, sehingga diperoleh:

a.   (5  +  8)  +  4  =  13  +  4  =  17

            b.   5  +  (8  +  4)  =  5  +  12  =  17

Catatan:   

  • Sampai dengan tahap ini baru ada kesimpulan
  • Belum ada aktivitas diskusi kelompok oleh siswa

 

6)   Guru memberikan soal latihan untuk siswa di depan kelas

      2  +  8  +  3  =  …

      a.   (2  +  8)  +  3  =  …  +  …  =  …

      b.   2  +  (8  +  3)  =  …  +  …  =  …

   

Beberapa siswa tampil mengerjakan soal di depan kelas

 (Riski) menghitung menggunakan pipet di depan kelas melalui bimbingan guru, diperoleh: a.   (2  +  8)  +  3  =  10  +  3  =  13.

 

(Anto dan Ridwan), diperoleh: b.            2  +  (8  +  3)  =  2  +  11  =  13.

 

 

 

7)   Berikutnya guru memberikan soal untuk dikerjakan oleh siswa di buku tulis:

      6  +  8  +  4  =  …

      (6  +  8)  +  4  =  …  +  …  =  …

      6  +  (8  +  4)  =  …  +  …  =  …

 

Selanjutnya dari hasil pekerjaan siswa itu, penulis mengambil beberapa sampel jawaban yang kami tampilkan sesuai dengan apa yang ditulis siswa, yaitu sebagai berikut:   

 

1.   Ulan

      (6  +  8  +  4  =  18

      (6  +  8  +  4  =  4  +  4  =  18

      6  +  8  +  4  =  6  +  6  =  18

 

2.   Febrianti

      6  +  8  +  4  =  18

      (6  +  8)  +  4  =  18  +  4  =  22

      6  +  (8  +  4)  =  6  +  12  =  18   

 

3.   Abdullah

      6  +  8  +  4  =  18

      (6  +  8)  +  4  =  14  +  4  =  18

      (6  +  8  +  4  =  14  +  4  =  18

 

4.   M. Fajri

      6  +  8  +  4  =  14

      (6  +  8)  +  4  =  10  +  9  =  19

      6  +  (8  4)  =  21  +  7  =  19

 

5.   M. Rizky

      6  +  8  +  4  =  18

      (6  +  8)  +  4  =  14  +  4  =  18   

      6  +  (8  +  4)  =  12  +  6  =  18   

 

6.   M. Ardiansyah

      6  +  8  +  4  =  18

      (6  +  8)  +  4  =  14  +  4  =  18   

      6  +  (8  +  4)  =  12  +  6  =  18   

Catatan:    Banyak siswa yang tidak mengerjakan soal.

 

 

6.         Pembahasan/Evaluasi

                        Berdasarkan karakteristik PMRI, dari observasi proses pembelajaran matematika yang telah kami lakukan di SD Negeri 98 Palembang sesuai dengan tema pembelajaran, yaitu tentang Pengelompokan Bilangan dapat kami evaluasi sebagai berikut:

 

I.          Pengelompokan Bilangan

  1. Dalam proses pembelajaran, baik guru dan siswa secara aktif dan antusias mengikuti pelajaran.
  2. b.       Dalam mengenalkan konsep pengelompokan bilangan guru belum menggunakan konteks sebagai masalah awal pembelajaran.
  3. Guru sudah memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri;
  4. Guru sudah menciptakan suasana pembelajaran yang menyenagkan (siswa antusias menghitung pipet dan menjawab pertanyaan guru).
  5. Siswa dapat menyelesaikan masalah secara individu atau dalam kelompok.
  6. f.         Guru secara khusus belum menciptakan suasana interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru.
  7. g.       Siswa secara monoton menyelesaikan soal seperti yang diperintahkan atau diarahkan oleh guru dengan menggunakan alat (pipet).
  8. Secara umum guru sudah bertindak sebagai fasilitator.
  9. Guru dengan sabar mengarahkan dan menjelaskan kepada siswa cara-cara menyelesaikan soal yang diberikan.

 

7.         Kesimpulan dan Saran

7.1       Kesimpulan

                                    Berdasarkan analisa hasil observasi untuk tema pengelompokan bilangan (kelas I) dapat disimpulkan sebagai berikut:

1)   Berdasarkan hasil wawancara dengan guru yang mengajar pada kelas observasi, dapat diketahui bahwa guru tersebut sudah mengenal pembelajaran dengan pendekatan PMRI, hal ini terbukti dengan pernahnya guru tersebut mengikuti beberapa kali penataran/ workshop.

2)   Secara umum guru sudah mengarahkan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, namun terdapat beberapa karakteristik PMRI yang beum dilakukan oleh guru, yaitu (1) dalam mengenalkan konsep pengelompokan bilangan pada awal pembelajaran guru belum menggunakan konteks sebagai masalah awal pembelajaran; (2) Guru secara khusus belum menciptakan suasana interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru; (3) Siswa secara monoton menyelesaikan soal seperti yang diperintahkan atau diarahkan oleh guru dengan menggunakan alat (pipet) tanpa variasi dengan cara-cara yang berbeda sesuai dengan kemampuan kognitif siswa masing-masing.

3)   Dilihat dari hasil jawaban siswa setelah mengikuti pembelajaran tentang pengelompokan bilangan, dapat disimpulkan bahwa siswa sudah cukup mengerti konsep dari pengelompokan bilangan seperti yang diajarkan oleh guru. Secara abstrak siswa masih mengalami kesulitan menulis dengan benar/tepat.

                                   

7.2         Saran

Dari temuan-temuan dalam kegiatan observasi ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1)      Sedapat mungkin guru dalam mengajar dengan pendekatan PMRI menggunakan konteks sebagai masalah awal pembelajaran.

2)      Guru mesti menciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi antara sesama siswa (kerja secara kelompok) dan atau siswa – guru.

3)      Guru dapat menciptakan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya beragam cara penyelesaian soal, tetapi masih dalam konsep yang sama.

 

 

 

Referensi

 

Hadi, Sutarto. 2003. PMR: Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 27 – 28 Maret 2003. Available on line at: http://www.pmri.or.id/paper/index.php?main=1.

 

Hadi, Sutarto. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. Makalah disajikan pada pertemuan Forum Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan, di Rantau Kabupaten Tapin, 30 April 2003. Available on line at: http://www.pmri.or.id/paper/index.php?main=3.

 

Marpaung, Jansen. 2007. ”Matematika Horizontal dan Matematisasi Vertikal. ” Jurnal Pendidikan Matematika PPS Unsri, Volume 1, No.1, hal:1-20.

 

Zulkardi & Ilma, Ratu. 2002. Mendesain Sendiri Soal Kontekstual Matematika. Article. Available on line at: http://www.pmri.or.id/paper/index.php?main=2.

 

 

*)   Makalah ini merupakan tugas mata kuliah RME-Prof. Dr. Zulkardi, M.I.Kom,. M.Sc diselesaikan pada Mei 2009.

**)  Penulis adalah mahasiswa PPS program studi pendidikan Matematika Unsri 2008/2009.

Tinggalkan komentar